2024-08-10 HaiPress
JAKARTA,iDoPress - Media di Indonesia sebagai pilar keempat demokrasi,saat ini menghadapi tantangan ganda yang amat serius. Pertama,disruspsi digital yang mengancam fondasi bisnis. Kedua,menguatnya tren otoritarianisme yang mengancam keselamatan jurnalis dan kepentingan publik.
Demikian refleksi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam perayaan ulang tahun ke-30 yang diselenggarakan di Gedung Usmar Ismail,Jakarta,Jumat (9/8/2024). Dalam perayaan itu,AJI mengundang Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti untuk menyampaikan pidato kebudayaannya.
Ketua Umum AJI Indonesia Nani Afrida menyampaikan,disrupsi digital membuat sejumlah media tidak mampu bertahan dan terpaksa menutup usahanya.
Baca juga: Demo Tolak Revisi UU Penyiaran,AJI Tegaskan Jurnalisme Investigatif Tak Berdampak Buruk
Mereka yang masih bertahan,menghadapi persoalan serius secara bisnis karena berusaha taat pada kode etik jurnalistik. Karya-karya jurnalistik yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh sesuai dengan kode etik kalah pengaruhnya dengan informasi yang disebarkan para influenceryang tidak terikat dengan kode etik.
Di tengah disrupsi yang mengancam eksistensinya,pada saat yang sama,media harus berperan untuk melawan tren menguatnya otoritarianisme di tanah air.
"Dalam aspek hukum,ada berbagai rancangan undang-undang (RUU),seperti RUU Kepolisian dan beberapa lainnya. Pasal karet dalam RUU ini makin membuat jurnalis sulit bekerja," ujar dia.
Menurut Nani,media di Indonesia harus mencari cara untuk bisa bertahan demi menunaikan tugasnya menjaga kepentingan publik dan demokrasi.
Baca juga: Tolak Revisi UU Penyiaran,AJI: Ini Skenario Besar Pelemahan Demokrasi
Dalam kesempatan yang sama,Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan,kehidupan pers saat ini memiliki tantangan yang bersifat sistemik dan jauh berbeda dari 30 tahun lalu.
“Di era digital,kerja-kerja jurnalistik harus berhadapan dengan produk-produk digital di
media sosial yang seolah menawarkan kebenaran,” ujarnya.
Menurut Ninik,peran jurnalis masih tetap diperlukan karena para influencer dan youtuber di media sosial tidak punya kepekaan kritis untuk menggali kedalaman informasi seperti yang dimiliki para jurnalis.
"Sayangnya,pemerintah lebih suka dengan influencer daripada jurnalis," kata Ninik.
Ia meminta pemerintah tidak menghalangi jurnalis dalam mencari informasi untuk membuat berita yang kritis.
Baca juga: AJI Jakarta,PWI,dan Organisasi Pers Berunjuk Rasa di DPR Hari Ini,Tuntut Revisi UU Penyiaran Dihentikan
Hal yang sama disampaikan Bivitri dalam pidato kebudayaannya. Ia menekankan,jurnalis dan karya jurnalistiknya memiliki peran yang tak tergantikan dalam menjaga tegaknya demokrasi di Indonesia.
Untuk itu,ia berharap,di tengah disrupsi ini jurnalis tidak kehilangan sikap kritisnya.
"Jurnalis,aktivis,dan akademisi adalah pilar-pilar menopang demokrasi yang rawan mendapat kekerasan saat kualitas demokrasi menurun. Mari kita lawan," kata Bivitri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.
Penafian: Artikel ini direproduksi dari media lain. Tujuan pencetakan ulang adalah untuk menyampaikan lebih banyak informasi. Ini tidak berarti bahwa situs web ini setuju dengan pandangannya dan bertanggung jawab atas keasliannya, dan tidak memikul tanggung jawab hukum apa pun. Semua sumber daya di situs ini dikumpulkan di Internet. Tujuan berbagi hanya untuk pembelajaran dan referensi semua orang. Jika ada pelanggaran hak cipta atau kekayaan intelektual, silakan tinggalkan pesan kepada kami.
©hak cipta2009-2020 Jaringan Pendidikan Shell Hubungi kami SiteMap