2024-08-19 HaiPress
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi,pekerja profesional atau praktisi di bidangnya,pengamat atau pemerhati isu-isu strategis,ahli/pakar di bidang tertentu,budayawan/seniman,aktivis organisasi nonpemerintah,tokoh masyarakat,pekerja di institusi pemerintah maupun swasta,mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
Daftar di sini
Kirim artikel
Editor Sandro Gatra
NEGARA-negara dalam Komite yang dibentuk Majelis Umum PBB telah menyelesaikan konvensi baru mengenai kejahatan siber. Konvensi ini dianggap istimewa karena merupakan Instrumen Hukum Internasional PBB pertama dalam menghadapi kejahatan siber.
Instrumen Hukum Internasional yang disebut “UN Convention Against Cybercrime” ini akan menempuh proses akhir,berupa pengesahan dalam sidang Majelis Umum PBB yang diprediksi akan berjalan mulus.
Konvensi ini menjadi kode keras bagi semua negara dan siapa pun bahwa dunia tengah menghadapi ancaman kejahatan siber sangat serius.
Kejahatan siber telah digolongkan ke dalam kejahatan paling berbahaya,yang tak hanya menyasar individu,tetapi juga institusi vital negara.
Oleh karena itu,negara-negara tak boleh abai. Regulasi,penguatan kelembagaan,ekosistem dan literasi digital yang memadai kepada masyarakat,sudah harus menjadi prioritas.
Komite telah menyetujui naskah final. Hebatnya persetujuan yang ditimpali riuh tepuk tangan itu,dilakukan tanpa melalui pemungutan suara,tetapi dengan konsensus. Hal ini membuktikan soliditas di akhir pembahasan.
Komite ini diketuai oleh Aljazair,dengan 13 wakil ketua: Mesir,Nigeria,Tiongkok,Jepang,Estonia,Polandia,Federasi Rusia,Republik Dominika,Nikaragua,Suriname,Australia,Portugal,dan Amerika Serikat.
Indonesia berperan aktif dan signifikan,karena ditunjuk sebagai pelapor (Rapporteur) komite. Penyelesaian Konvensi ini,meskipun tak sepi protes dari pegiat HAM dan industri teknologi,merupakan langkah penting dalam menghadapi kejahatan siber multilateral.
Dilansir siaran resmi PBB bertajuk "United Nations: Member States finalize a new cybercrime convention" (9/08/2024) di New York,menyatakan setelah tiga tahun bekerja,komite yang dibentuk oleh Majelis Umum PBB telah menyetujui rancangan teks konvensi.
Siaran itu juga menegaskan bahwa masih diperlukan proses berikutnya sesuai mekanisme PBB,berupa adopsi oleh Majelis Umum,yang akan dilakukan pada akhir tahun ini.
Tulisan ini adalah bagian dari riset saya di Center of Cyberlaw & Digital Transformation,Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Materi dalam versi ini saya bagikan juga kepada pembaca Kompas.com untuk manfaat lebih luas.
Terlepas dari segala dinamikanya,instrumen Hukum Internasional di bidang cybercrime yang dibentuk PBB adalah hal paling ditunggu. Rilis PBB menyebut,pencapaian ini merupakan puncak dari upaya total lima tahun,Negara Anggota PBB.
Teks konvensi berhasil disepakati setelah mendapat berbagai masukan dari masyarakat sipil,lembaga akademis,dan sektor swasta.
United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) bertindak sebagai sekretariat substantif untuk negosiasi tersebut.
UNODC intens mendukung proses negosiasi dan bertindak sebagai Sekretariat Konvensi. Badan PBB ini juga memainkan peran utama dalam membantu implementasi dan ratifikasi Konvensi setelah diadopsi oleh Majelis Umum.
Penafian: Artikel ini direproduksi dari media lain. Tujuan pencetakan ulang adalah untuk menyampaikan lebih banyak informasi. Ini tidak berarti bahwa situs web ini setuju dengan pandangannya dan bertanggung jawab atas keasliannya, dan tidak memikul tanggung jawab hukum apa pun. Semua sumber daya di situs ini dikumpulkan di Internet. Tujuan berbagi hanya untuk pembelajaran dan referensi semua orang. Jika ada pelanggaran hak cipta atau kekayaan intelektual, silakan tinggalkan pesan kepada kami.
©hak cipta2009-2020 Jaringan Pendidikan Shell Hubungi kami SiteMap